• Yeva Purnama, S.Pd.
  • Bahasa
  • 2022-01-24 23:02:16
Memaknai Sajak Wiji Thukul

Hidup Adalah Perlawanan

Memahami Sajak Thukul Wijaya

oleh edi sst

 

Untuk: D

 

kopi tinggal ampas

asbak penuh punting

bibir pecah

habis muntah-muntah

 

mari pulang saja

sebelum tipu menipu tambah seru

malam makin beku

aku tidak betah aku ingin masuk

aku tak terhibur lagi

oleh percakapan-percakapan

yang menyelamatkan kita bukan omong besar

bukan mimpi bukan ketakutan

 

mari tidur

persiapkan

perlawanan esok pagi!

 

Solo  17.6.87

 

(Suara Merdeka, 18 Mei 1991)

 

            Pertama kali membaca sajak Thukul di atas saya merasa ada sentuhan-sentuhan nisbi pada nurani yang kemudian berangsur-angsur menciptakan ketertarikan setelah berulang-ulang menyelaminya. Dari situlah saya tergerak untuk membuat tulisan singkat ini.

            Sebuah sajak yang sederhana sebenarnya. Lugas.

            Kisah perjalanan hidup Thukul tampaknya tak bisa dipisahkan dari sajak ini. Walaupun penyair ini pernah mendapat beberapa penghargaan internasional seperti dari Goethe Institut berupa kesempatan menimba pengalaman selama tiga bulan (namun ia tolak) dan dari Wertheim Foundation dari Negeri Belanda berupa penerbitan sebuah kumpulan 100 puisinya dalam dua bahasa: Belanda dan Indonesia, tetapi keterlibatannya dengan lingkungan kalangan bawah membuat sajak-sajaknya banyak mencerminkan kehidupan orang-orang pinggiran. Simak saja puisinya yang lain yang berjudul “Sajak Suara”. Di situ ia menyuarakan nasib kaum kecil yang selalu ditindas, ditekan, dan dibungkam. Namun, dengan tegas dalam sajak tersebut Thukul mengatakan bahwa sesungguhnya suara tak bisa diredam/kalaupun mulut dapat dibungkam.

            Sajak thukul yang ditujukan untuk seseorang yang saya tulis di awal tampaknya juga ingin berbicara tentang nasib orang-orang golongan bawah yang kurang mujur hidupnya walaupun dari sisi yang lain. Golongan tersebut diwakili oleh “aku” dan kawan baiknya: D, yaitu kepada siapa sajak ini diperuntukkan. Disebut berkawan baik karena dalam rasa kesenasiban yang sama—barangkali sebagai penganggur atau tak punya pekerjaan tetap—mereka berdua melewati malam-malam dengan kopi dan berbatang-batang rokok sambil mempercakapkan nasib mereka yang kurang beruntung.

            Apabila membaca sajak ini secara keseluruhan akan jelas sekali menyiratkan hal itu. Mereka melewatkan malam dengan obrolan-obrolan gaya orang yang biasa nongkrong di warteg yang buka larut malam sambil sesekali “menyeruput” kopi sedikit demi sedikit sampai tak terasa kopi tinggal ampas. Kegiatan tersebut masih diselingi dengan sedotan rokok dan kepulan asap nikotin sehingga akhirnya mnyisakan sebuku jari berpuntung-puntung rokok dalam asbak, asbak penuh puntung.

            Percakapan-percakapan malam itu berkisar tentang bualan-bualan mereka bila hidup enak, jadi pejabat atau membual tentang apa saja. Mimpi jadi orang berpangkat yang bermartabat di mata masyarakat atau mimpi tentang apa saja, celotehan-celotehan lain yang semuanya didorong oleh deraan nasib. Sesekali tercetus bersitan-bersitan ketakutan mnghadapi kenyataan. Kehidupan malam dengan kopi dan punting rokok tampaknya merupakan alternative kompensasi dari ketertekanan mental oleh beratnya beban kehidupan.

            Kemudian, katakanlah sampai pada suatu malam sisa kesadaran itu timbul. Sisa kesadaran itu seperti menyeruak ke permukaan saat “aku” melihat kopi tinggal ampas/asbak penuh puntung/bibir pecah/habis muntah-muntah. “Aku” merasa semuanya itu tak ada gunanya. Hal itu tak akan mengubah kenyataan nasib. Bahkan “aku” merasa percakapan-percakapan malam yang berisi bualan dan ketakutan itu hanya akan menipu diri mereka sendiri. Memunafikan diri dari kenyataan. Dengan demikian, bukankah lebih baik “aku” mengajak sang kawan: mari pulang saja/sebelum tipu menipu tambah seru.

            Kesadaran yang mencuat tersebut membuat aku tak betah, aku ingin masuk. Sadar akan kenyataan hidup. Inilah sebenarnya hidup. Hidup dan nasib kehidupan adalah perjuangan. Karena itu, aku tak terhibur lagi dengan semuanya itu. Tak usahlah semuanya itu. Kita tak memerlukannya. Sekarang yang penting adalah kita harus segera menyiasati perjuangan hidup. Wahai kawan, sebaiknya mari tidur/persiapkan/perlawanan/esok hari!.

            Sajak penyair Solo yang tinggal di kampung berpenduduk mayoritas dari golongan bawah ini terlihat kata-katanya sederhana. Hanya karena pengalaman dan diksi yang kuat sehingga kata-kata dalam sajak ini dapat mewakili makna dan menciptakan suasana tertentu. Secara keseluruhan kata dan kalimat dalam sajak ini dapat memunculkan suasana kerinduan atau tepatnya barangkali harapan. Harapan unuk mencapai cita-cita hidup, bernasib lebih baik. Namun harapan tersebut sepertinya tertekan ke alam bawah sadar oleh keadaan sehingga seolah-olah tidak ada. Hanya kemudian “aku” bangkit: mari pulang dan mari tidur. Tinggalkan segala bualan dan ketakutan. Nasib bukan untuk diomongkan atau ditakutkan, melainkan harus diperjuangan. Yang menyelamatkan kita bukan omong besar/bukan mimpi bukan ketakutan. Hidup adalah tindak perjuangan bukan bualan dan ketakutan. Hidup adalah perlawanan! **

Catatan: Artikel sederhana ini pernah dimuat di Tabloid Nuansa IKIP Semarang dekade 1990-an.

 

Sumber: https://www.jendelasastra.com/wawasan/essay/hidup-adalah-perlawanan

 

 

Add comment

Jl.Lingkar Utara Bekasi Kel. Perwira Kec. Bekasi Utara (sebelah BSI Kaliabang) Raya Bekasi KM.27 Pondok Ungu

Email : admin@smktarunabangsa.sch.id

Pengumuman

© 2024 SMK Taruna Bangsa Kota Bekasi. All Rights Reserved.