• Yeva Purnama, S.Pd.
  • Bahasa
  • 2021-07-21 11:41:50
PEMBELAJARAN SASTRA SEBAGAI MEDIA PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA

Pendidikan karakter akhir-akhir ini sering menjadi pembahasan berbagai kalangan, terutama kalangan pendidikan. Berdasaran  fakta yang ada  bahwa siswa sebagai produk pendidikan masih belum tertanam secara kuat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga dengan mudahnya dapat terpengaruh oleh hal-hal dari luar. Selain itu, semangat untuk belajar, berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya kian menurun. Peserta didik banyak yang tidak siap untuk menghadapi kehidupan sehingga dengan mudah meniru budaya luar yang negatif, terlibat di dalam amuk massa, melakukan kekerasan di sekolah atau kampus, dan sebagainya. Meningkatnya kemiskinan, menjamurnya budaya korupsi, munculnya plagiarisme, menguatnya politik uang, dan sebagainya merupakan cerminan dari kehidupan yang tidak berkarakter kuat untuk menuju bangsa yang berperadaban maju.


Menurut John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di dalam perkembangan seseorang.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yangartinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.
Kata karakter berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunyai ahla mulia adalah tida secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidian (proses”pengukiran”). Dalam istilah arab karakter ini mirip dengan ahklah ( akar kata dari khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik. Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untu membentuk kebiasaan bai (habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil. Tuhan menurunkan petunjuk melalui para Nabi dan Rasul-Nya untuk manusia agar senantiasa berperilaku sesuai dengan yang diinginkan Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.


Terbentuknya karakter (kepribadian) manusia ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) nature (faktor alami atau fitrah), (2) nurture (sosialisasi dan pendidikan). Pengaruh nature. Agama mengajaran bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini adalah bersifat potensial, atau belum termanisfestasi ketika anak dilahirkan. Confucius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga menyatakan bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan intruksi (pendidian dan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi ( Brooks dan Goble, 1997).


Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.


Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.

Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.


Pendidikan bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi alat wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu dikembangkannya kembali pendidikan karakter di sekolah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah melalui pembelajaran apresiasi sastra.

Pembelajaran apresiasi sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, psikologis, demokrasi, santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra yaitu memperhalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif.


Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menujang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus lebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai institusi pendidikan. Seiring dengan tumbuhnya berbagai macam kebutuhan dan tutntutan kehdupan, bebabn sekolah semakin berat dan kompleks. Sekolah tidak saja dituntut untuk dapat membekali berbagai macam ilmu pengetahuan yang sangat cepat berkembang, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, memebentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan.
Tuntutan-tuntutan baru yang dibebankan masyarakat terhadap sekolah tersebut, mengakibatkan pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi dianggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi dianggap sebagai pengalaman belajar siswa. Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggungjawab guru ( Sekolah).


Dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata sas dalam bahasa kerja turunan yang berarti’mengarahkan’, ’mengajar’, ‘memberi petunjuk atau intruksi’. Akhiran tra menunjukkan alat ‘alat’ atau ‘sarana’ . Oleh sebab itu, sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajar’, ‘buku petunjuk’, buku intruksi atau pengajaran’, misalnya: kitab Arjuna wiwaha karya Empu Kanwa.
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.

Hakikat sastra selalu dikaitkan dengan ekspresi sastra, baik secara lisan maupun tulisan. Sastra sebagai suatu bentuk hasil budaya tidak terlepas dari kreasi penciptanya yang cenderung dinamis; dalam arti ekspresi sastra selalu memberi kemungkinan berubah dari zaman ke zaman. Pengertian ini selaras dengan pendapat yang menyatakan, bahwa sastra pada hakekatnya sastra adalah suatu kegiatan kreatif (Wellek dan Warren, 1990:3). Sastra ialah tulisan atau khayalan dalam arti rekaan (imajinative writing in the sense of fiction) (Eagleton,1983:1)
Dalam kurikulum disebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain adalah menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Melalui apresiasi sastra, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan kehidupannya.
Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter.

Sastra dalam banyak hal memberi peluang kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain, yang menjadikannya berempati kepada nasib dan situasi manusia lain. Melalui sastra,  seseorang dapat  mengalami menjadi seorang dokter, guru, gelandangan, tukang becak, ulama, ronggeng, pencuri, pengkhianat, pengacara, rakyat kecil, pejabat, dan sebagainya.


Hakikat sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih popular, yaitu imajinasi, berbeda dengan ilmu kealaman, kenyataan dalam ilmu sosial adalah kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai fakta sosial. Berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang dianggap sebagi semata-mata khayalan, imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi juga diimajinasikan oleh orang lain. Masalah ini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa sebagai karya seni karya sastra tidak secara keseluruhan merupakan imajinasi.  Hakikat karya sastra adalah rekaan, tetapi jelas karya sastra dikontruksi atas dasar kenyataan, dalam setiap karya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang merupakan fakta objektif. Dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek.

 

Apresiasi sastra melatih kecerdasan intelektual (IQ), misalnya dengan menggali nilai-nilai intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita. Juga mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) siswa, misalnya sikap tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan hidup, dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat dengan segala problem kehidupannya. Mempelajari sastra berarti mengenal beragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya. Membaca kisah manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus bersikap ketika menghadapi masalah, akan menuntun siswa untuk memahami nilai-nilai kehidupan. Sedangkan sastra dapat mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) tentu tak dapat pula kita mungkiri. Bukankah banyak kita temukan karya sastra yang bertema religius? Misalnya, sekedar contoh, puisi Padamu Jua (Amir Hamzah), cerpen Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), dan sebagainya. Karya sastra dengan tema-tema religius semacam ini akan menuntun siswa lebih memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

 

Pembelajaran sastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadaran untuk membaca dan menulis karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian. Oleh karena itu, apresiasi sastra akan tumbuh sesuai dengan harapan bilamana guru Bahasa dan Sastra Indonesia juga menyukai sastra. Karena itu, guru Bahasa dan Sastra Indonesia harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi. Bukankah karya-karya sastra banyak tersebar di sekitar kita? Dengan kekayaan bacaan yang dimiliki, tentu guru akan lebih mampu untuk memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Sebab tidak semua karya sastra dapat digunakan sebagai bahan ajar di kelas. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar hendaknya memenuhi kriteria yang sesuai untuk siswa, yakni bahasanya indah, mengharukan pembacanya, membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa mengristal dapat melampaui ruang dan waktu. Ciri ini mengisyaratkan adanya penerimaan pembaca, mempunyai sistem yang bulat, baik sitem bentuk, bahasa, maupun isi. Di dalam karya sastra harus ada unity                ( keutuhan), balance ( keseimbangan), harmoni (keselarasan), dan right emphasis    ( tekanan yang tepat), mengungkapkan isi jiwa sastrawan dengan baik. Karya sastra tersebut harus bisa mengungkapkan isi pikiran, perasaan, emosi, keinginan, dorongan, ciri khas, atau cita-cita dari pengarangnya, penafsiran kehidupan dan mengungkapkan hakikat kehidupan. Karya sastra yang baik dapat mengungkapkan hal-hal yang orang lain tidak bias mengungkapkannyadan melihatnya, tidak bersifat menggurui. Di dalam karya sastra memang bisa ditemui adanya ajaran moral, tidak terikat oleh nilai-nilai dan fakta-fakta setempat, tetapi lebih bersifat universal. makin baik karya sastra, makin univesrsal masalah hidup yang diungkapkannya, tidak melodramatis, tidak mempunyai  kesan diatur-atur. harus menujukan kebenaran, keindividualan, dan keaslian. Untuk itu guru sebagai komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga professional. Dalam arti khusus dapat dikatan bahwa setiap diri guru itu terletak tanggungjawab untuk membawa para siswanya pada kedewasaan  atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai “pengajar” yang ternsfer of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang transfer of value dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam pembentukan karakter.

 

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan dan Sugondo, Dendy. 2003. Politik Bahasa. Jakarta: Progres.
http://imtaq.com/definisi-pendidikan-secara-umum/
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama .  Jakarta
Luxemburg. 1987. Tentang Sastra. Muiderberg: Intermasa.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BPMIGAS.
Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Nurgiantoroyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya.
Sardiman. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Sardjono, Partini. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. Garamedia Pustaka Utama.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Garasindo.
Wellek dan Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia

Sumber: Penulis oleh Dadang supriatna dirangkum oleh Yeva Purnama

https://www.google.com/amp/s/spsupiindonesia.wordpress.com/2011/07/14/pembelajaran-sastra-sebagai-media-pembentukan-dan-pengembangan-karakter-siswa/amp/

Add comment

Jl.Lingkar Utara Bekasi Kel. Perwira Kec. Bekasi Utara (sebelah BSI Kaliabang) Raya Bekasi KM.27 Pondok Ungu

Email : admin@smktarunabangsa.sch.id

Pengumuman

© 2024 SMK Taruna Bangsa Kota Bekasi. All Rights Reserved.